ORANG BODOH YG MAMPU MENGENDALIKAN HAWA NAFSU LEBIH BAIK DARIPADA ORANG ALIM YANG DIKUASAI HAWA NAFSU


KEJAHILAN ORANG BODOH YANG BERJAYA MENUNDUKKAN NAFSUNYA  TIDAK AKAN MENDATANGKAN BAHAYA KEPADA MU TETAPI SI ALIM YANG DIKUASAI NAFSU BISA MEMBINASAKAN UMAT.
ولاَنْ تصْحبَ جاهِلاً لاَيَرْضىَ عَن نَفسِهِ خيرٌ لكَ مِن اَن تصْحَبَ عَالِماً يَرْضىَ عَنْ نَفسِهِ  فَاَيُّ عِلمٍ لعاَلِمٍ يَرْضىَ عن نفسهِ  وَايُّ جَهْلٍ لِجاَهِلٍ لا يَرضىَ عن نفسهِ

“Dan sekiranya engkau bersahabat dengan orang bodoh yang tidak menurutkan hawa nafsunya, itu lebih baik daripada bersahabat dengan orang berilmu [orang alim] yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Maka ilmu apakah yang dapat diberikan bagi seorang alim yang selalu menurutkan hawa nafsunya itu, sebaliknya kebodohan apakah yang dapat disebutkan bagi seorang yang sudah dapat menahan hawa nafsunya.”

–Sheikh Ibn Athaillah As Sakandari, Kitab Hikam.
Alias Hashim:

Mari kita bicara Ulama Su’ Ulama Yang Cinta Dunia (Hubbud Dunya):

Berkata Ibnu Qayyim rh. ; Ulama Suu duduk di depan pintu syurga dan mengajak manusia untuk masuk ke dalamnya dengan ucapan dan seruan mereka. Dan mengajak manusia untuk masuk ke dalam neraka dengan perbuatan dan tindakannya.

Rasulullah bersabda :

إن أشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لم ينفعه الله بعلمه

“Manusia yang paling berat azabnya pada hari kiamat adalah orang yang berilmu tapi tidak mengamalkannya karena Allah.”

Dalam hadits lain beliau bersabda :

من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله إلا بعدا

“Barangsiapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah benar jalannya, maka semakin jauh dari Allah.” 

Ketahuilah bahwa seorang ulama yang menekuni suatu ilmu, baginya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah binasa, dan kemungkinan kedua adalah memproleh kebahagiaan yang kekal. 

Khalil bin Ahmad berkata:

 الرجال أربعة :

رجل يدري ويدري أنه يدري فذلك عالم فاتبعوه 

ورجل يدري ولا يدري أنه يدري فذلك نائم فأيقظوه 

ورجل لا يدري ويدري أنه لا يدري فذلك ميترشد فأرشدوه 

ورجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فذلك جاهل فارفضوه 

Manusia terbagi pada empat macam:

  1. Orang yang tahu, dan ia tahu bahawa ia mengetahui. Itulah orang yang berilmu, maka ikutilah ia. 
  2. Orang yang tahu, tetapi ia tidak tahu bahawa ia mengetahui. Itulah orang yang tertidur, maka bangunkanlah ia.
  3. Orang yang tidak tahu, tetapi ia tahu bahawa ia tidak mengetahui. Itulah orang yang memerlukan bimbingan, maka ajarilah ia.
  4. Orang yang tidak tahu, namun ia tidak tahu bahawa ia tidak mengetahui. Itulah orang bodoh. Waspadalah terhadapnya.

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Ilmu itu mengajak (pemiliknya) untuk mengamalkannya, jika ia mengamalkannya, maka ilmunya bermanafaat. Namun jika tidak diamalkan, maka ilmunya akan pergi. 

Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ الَّذِيْۤ اٰتَيْنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَاَتْبَعَهُ الشَّيْطٰنُ فَكَانَ مِنَ الْغٰوِيْنَ

“Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-kitab) kepadanya, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang yang sesat.”(QS. Al-A’raf: Ayat 175)

Ulama adalah mereka yang tidak terpengaruh godaan dunia dengan mengorbankan agama, dan tidak menjual akhirat demi dunia karena mereka mengetahui kemuliaan akhirat dan kehinaan dunia. Barangsiapa yang tidak mengetahui perbedaan antara manfaat dan kemadharatan dunia dengan akhirat, maka ia bukanlah ulama. Dan barangsiapa yang mengingkari hal ini, maka sungguh ia telah mengingkari apa yang tertera dalam Al-Qur’an, sunnah Rasul dan kitab-kitab yang diturunkan Allah serta perkataan para nabi.

Sedangkan barang siapa yang mengetahui hal ini tapi tidak mengamalkannya, maka ia telah menjadi tawanan syaitan. la telah dijerumuskan oleh hawa nafsunya dan dikalahkan oleh kesengsaraannya sendiri. Barangsiapa yang mengikuti orang seperti ini, maka ia akan binasa. Sebab bagaimana mungkin orang seperti ini disebut ulama? 

Allah SWT berkata kepada Nabi Dawud AS, “Serendah-rendahnya​ perilaku orang alim adalah jika ia lebih menyenangi syahwatnya daripada mencintai-Ku. Aku haramkan ia merasakan nikmatnya bermunajat kepada-Ku. Wahai Dawud, jangan bertanya kepada-Ku tentang orang alim yang telah dimabukkan oleh dunia sehingga ia memalingkanmu dari jalan untuk mencintai-Ku. Mereka adalah para penyamun hamba-hamba-Ku. Wahai Dawud, jika engkau melihat seorang penuntut ilmu karena diri-Ku, maka jadilah engkau sebagai pelayan baginya. Wahai Dawud, barangsiapa yang kembali kepada-Ku dalam kondisi menjadi pelayan bagi penuntut ilmu, maka Aku tetapkan ia sebagai mujahid. Dan barangsiapa yang sudah Aku tetapkan sebagai mujahid, maka aku tidak akan pernah mengazabnya.

Hasan al-Basri mengatakan, “Hukuman bagi ulama adalah matinya hati, dan matinya hati disebabkan oleh mencari dunia dengan amalan akhirat.”

Umar bin Khathab berkata, “Jika engkau menyaksikan ulama yang cinta dunia, maka tuduhlah dia atas dasar agamamu. Karena setiap orang yang mencinta, akan tenggelam pada apa yang dicintainya.”

Sementara Yahya bin Mu’adz ar Razi berkata kepada ulama dunia,” Wahai orang-orang yang berilmu, istana-istana kalian laksana istana kaisar, rumah-rumah kalian laksana rumah kisra, kendaraan-kendaraan kalian laksana kendaraan Qarun, gelas-gelas kalian laksana gelas Fir’aun, jamuan-jamuan kalian laksana jamuan jahiliah, dan mazhab-mazhab kalian laksana mazhab setaniyah. Lalu dimanakah risalah Muhammad?

Mereka bersya’ir, “Pengembala melindungi kambingnya dari serangan serigala. Lalu bagaimana jadinya jika para pengembala memiliki serigala?”

Yang teramat penting, ialah mengetahui tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat. Yang kami maksudkan dengan ulama dunia ialah ulama su’ yang tujuannya dengan ilmu pengetahuan itu ialah untuk memperoleh kesenangan duniawi, kemegahan dan kedudukan.

أنه قال; لا يكون المرء عالما حتى يكون بعلمه عاملا 

(Laa yakuunul mar-u ‘aaliman hattaa yakuuna bi’ilmihi ‘aamilaa).

Artinya :”Tidaklah seorang itu benama alim sebelum berbuat menuruti ilmunya (HR Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi dari Abid darda)

Bersabda Nabi saw.:

 العلم علمان علم على اللسان فذلك حجة الله تعالى على خلقه، وعلم في القلب فذلك العلم النافع ”

Ilmu pengetahuan itu ada dua : ilmu pada lisan, yaitu ilmu yang menjadi alasan bagi Allah atas makhluk-Nya dan ilmu pada hati, yaitu ilmu yang bermanfa’at”. (HR . At-Tirmidzi dan Ibnu Abdil-Birri dari Al-Hasan)

Bersabda Nabi saw. lagi :

يكون في آخر الزمان عباد جهال وعلماء فساق ”

Adalah pada akhir zaman, orang-orang yang beribadah yang bodoh dan orang-orang yang berilmu yang tidak beribadah (fasiq)(HR . Al-Hakim dari Anas, hadits dha’if)

Bersabda Nabi saw. ;

:لا تتعلموا العلم لتباهوا به العلماء ولتماروا به السفهاء ولتصرفوا به وجوه الناس إليكم فمن فعل ذلك فهو في النار ”

Janganlah engkau mempelajari ilmu pengetahuan untuk bersombong-sombong dengan sesama berilmu, untuk bertengkar dengan orang-orang yang berpikiran lemah dan untuk menarik perhatian orang ramai kepadamu. Barang siapa berbuat demikian, maka dia dalam neraka (H R. Ibnu Majah dari Jabir dengan isnad shahih)

Dan bersabda Nabi saw. :

لأنا من غير الدجال أخوف عليكم من الدجال 

“Sesungguhnya aku lebih takut padamu, kepada yang bukan dajal dari dajal’  Lalu orang menanyakan : “Siapakah itu?”  Maka menjawab Nabi saw.

 : فقيل وما ذلك فقال من الأئمة المضلين

“Imam-imam (pemuka-pemuka) yang menyesatkan ” (H R. Ahmad dari Abi Dzar dengan isnad baik)

Bersabda Nabi saw. :

 من كتم علما عنده ألجمه الله بلجام من نار ”

Barang siapa menyembunyikan ilmu pengetahuan yang ada padanya maka diberikan oleh Allah kekang pada mulutnya dengan kekang api neraka”. (H R. Abi Hurairah)

Dengan hadits ini dan lainnya, menunjukkan betapa besarnya bahaya ilmu kalau tidak diamalkan. Orang yang berilmu, adakalanya menderita kebinasaan abadi atau kebahagiaan abadi. Dengan berkecimpung dalam ilmu pengetahuan, orang yang berilmu itu tidak memperoleh keselamatan, jika tidak mendapat kebahagiaan.

Adapun atsar (kata-kata sahabat dan ulama-ulama terdahulu), diantara lain berkata Umar ra. : “Yang paling saya takutkan kepada ummat ini, ialah orang munafiq yang berilmu”.

Bertanya hadirin : “Bagaimana ada orang yang munafiq berilmu?”. Menjawab Umar ra. : Berilmu di lidah, bodoh di hati dan amal ”

Berkata Al-Hasan ra.: “Janganlah ada engkau sebahagian dari orang yang mengumpulkan ilmu ulama, kata pilihan hukuma dan berlaku dalam perbuatan seperti sufaha (orang-orang bodoh)”.

Berkata seorang laki-laki kepada Abu Hurairah ra. : “Saya mahu mempelajari ilmu, tetapi saya takut nanti ilmu itu tersia-sia”. Menjawab Abu Hurairah ra. : “Dengan meninggalkan saja, sudah mencukupi untuk dipandang menyia-nyiakan dan meninggalkan  ilmu ”

Ditanyakan Ibrahim bin Uyainah : “Manakah manusia yang lama benar penyesalan nya?”

Menjawab Ibrahim : “Adapun pada masa dekat di dunia ini, ialah orang yang berbuat baik kepada orang yang tidak tahu berterima kasih. Dan ketika mati nanti, ialah orang yang berilmu yang me-nyia-nyiakan ilmunya”.

Berkata Ibnul Mubarak “Senantiasa manusia itu berilmu selama ia menuntut ilmu. Apabila ia menyangka sudah berilmu, maka dia itu, telah bodoh”.

Berkata Al-Fudhail bin Iyadh ra.  “Saya menaruh belas kasihan kepada tiga orang yaitu;

  1. Orang mulia dalam kaumnya yang menghinakan diri, 
  2. Orang kaya dalam kaumnya yang memiskinkan diri dan  
  3. Orang yang berilmu yang dipermainkan dunia”.

Berkata Al-Hasan : “Siksaan bagi ulama ialah mati hatinya. Kematian hati ialah mencari dunia dengan amalan akhirat”. 

Dan bermadahlah mereka :

Aku hairan orang membeli kesesatan dengan petunjuk.  Lebih hairan lagi, orang membeli dunia dengan agamanya. Yang lebih hairan lagi dari yang dua ini adalah orang menjual agamanya dengan dunia. Inilah yang paling ajaib dari yang kedua ini.

Berfirman Allah Ta’ala mengenai kisah Bal’am bin Ba’-ura’ :

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ 

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. (Al-A’raaf 175),

Sehingga  Allah Ta’ala berfirman :

 فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ

“Orang itu adalah seumpama anjing, kalau engkau halau, diulurkannya lidahnya dan kalau engkau biarkan, diulurkannya juga lidahnya

(Al-A’raaf 176).

Maka begitu jugalah orang berilmu yang dzalim.

Kepada Bal’am diberikan Kitab Allah, tetapi dia terus bergelimang dalam hawa nafsu. Maka dia diserupakan dengan anjing. Ertinya, sama saja antara diberikan ilmu hikmah atau tidak diberikan, dia terus menjilat dengan lidahnya pada hawa nafsu.

Bersabda Isa as.: 

مثل علماء السوء كمثل صخرة وقعت على فم النهر لا هي تشرب الماء ولا هي تترك الماء يخلص إلى الزرع ومثل علماء السوء مثل قناة الحش ظاهرها جص وباطنها نتن ومثل القبور ظاهرها عامر وباطنها عظام الموتى. 

“Orang berilmu yang jahat adalah seumpama batu besar yang jatuh ke mulut sungai. Dia tidak mengisap air dan tidak menghalangiair mengalir ke tanam-tanaman. Dan seumpama parit rumput, dzahimya yang kelihatan seperti di cat dan dalamnya yang tidak kelihatan adalah berbau busuk. Dan seumpama kuburan, dzahir (luarnya) yang kelihatan adalah bangun-bangunan beton dan bathinnya di dalam adalah tulang-belulang orang mati’

Hadits-hadits dan kata-kata berhikmah serta atsar-atsar dia atas  menerangkan, bahawa orang berilmu yang menjadi anak dunia adalah lebih buruk keadaannya dan lebih sangat ‘azab yang dideritainya dari orang bodoh.

Sufyan at Tsauri telah mengatakan, “Ilmu itu menyerukan untuk beramal. Jika pemiliknya mengamalkannya, ilmu itu menetap padanya; jika tidak, ilmu itu pun pergi darinya.”
KESIMPULAN:

Faedah berkawan itu dapat meningkat iman dalam setiap hal tanpa ada kekurangan. Berkawan dengan orang yang suka menurut hawa nafsunya meskipun ia orang alim sekalipun ia tetap jahat dan tidak berfaedah. Ini kerana ilmunya sama sekali tidak memberi manafaat untuk dirinya mahupun orang lain akibat kebodohannya sendiri yang suka menurut hawa nafsunya malah bisa membawa ramai umat kearah kesesatan kerana kalah ia dengan hawa nafsunya.

Oleh itu, jadilah ilmunya itu membawa mudarat kepada dirinya sendiri sama saja dengan orang yang tidak berilmu.

Sebaliknya, berkawan dengan orang yang telah dapat menyekat dan mengekang hawa nafsunya meskipun ia bodoh sekalipun ia tetap baik dan berfaedah dan dia sebenarnya sudah berjaya. Ini kerana kejahilannya itu tidak membawa mudarat kepada dirinya dan orang lain lantaran ilmu yang dimilikinya itu tidak suka menurut hawa nafsunya.

Justeru itu, jadilah ilmunya itu memberi manafaat kepada dirinya sendiri. Ini kerana apabila ilmu yang sedikit itu namun terhasil ilmu tersebut kepadanya, keadaannya sama saja seperti orang yang berilmu dan bukan orang jahil.

Apabila ia mengetahui pelbagai aibnya dan dapat menghampirkan dirinya  kepada Tuhannya, maka dengan sendirinya ilmunya itu walau nampaknya sedikit namun menjadikannya ketiadaan rasa suka dan menolak nafsunya itu. Itulah kesudahan manafaat yang mana dengan terhasilnya ilmunya itu walaupun sedikit namun dapat  menolak kejahilannya dan jadilah ia orang yang berilmu.

Hakikat jahil itu ialah melarikan dirinya daripada Haq (kebenaran yakni syariat) dan menurut yang batil (palsu) serta menghukumkan sesuatu yang tidak betul dan tidak sah dari syariat. Inilah keadaan orang.yang suka menurutkan hawa nafsunya. Sebaliknya, hakikat ilmu itu ialah mengerjakan yang Haq dan menjauhi segala yang batil serta mendatangkan setiap sesuatu yang layak padanya. Inilah hal keadaan orang yang tidak suka menurutkan hawa nafsunya.

Sesiapa yang jahil tentang kejadian dirinya dan menyangka ia lebih tahu dan alim daripada orang lain, maka dia adalah orang yang paling bodoh dan jahil, dan tanda bodohnya itu ialah sukanya pada ilmu tetapi malangnya ia lebih mementing dan mengutamakan dunianya.

Biasakanlah berkawan dengan orang yang dapat menunjuk anda dengan kata-katanya ke arah kebaikan dan dapat menempatkan anda di sisi Allah Taala dalam setiap pekerjaan anda.

Seseorang yang diistilahkan sebagai jahil tetapi tidak menurut hawa nafsu, tidak ada padanya sifat megah, sombong, takbur dan bodoh. Dia boleh tunduk kepada kebenaran jika kebenaran dibentangkan kepadanya. Dia boleh juga menyampaikan kebenaran yang diketahuinya kepada orang lain. Jadi, kebodohan apakah yang boleh dikatakan kepada orang seperti ini yang bersedia menerima dan menyampaikan kebenaran.

Orang yang diistilahkan sebagai alim pula, bagaimana boleh dikatakan alim jika dia menurut hawa nafsunya, memakai sifat bodoh dan sombong, menolak kebenaran jika datang dari orang lain atau tidak secucuk dengan kehendak nafsunya. Orang alim yang menurut hawa nafsu tidak mengajak manusia menyembah Allah s.w.t sebaliknya mengajak mereka menyembah ilmunya.

Manusia lain menjadi alat baginya untuk menaikkan ego dirinya sendiri. Oleh yang demikian adalah lebih baik jika bersahabat dengan orang jahil yang tidak tunduk kepada hawa nafsunya. Kejahilan tidak menghalangnya untuk mengenali kebenaran dan dia juga mampu memberi sokongan ke arah kebenaran.

Sifat iblis adalah hijab diluar hati dan hawa nafsu adalah hijab di dalam hati. Jika hijab diluar disingkapkan dengan tenaga kebenaran, maka hijab di dalam ini juga perlu disingkapkan dengan tenaga kebenaran. Nafsu mesti ditundukkan kepada kebenaran. 

Pekerjaan ini bukanlah mudah kerana nafsu kita adalah diri kita sendiri. Tidak ada beza pada hakikatnya diantara nafsu, hati dengan diri. Memerangi hawa nafsu bererti memerangi diri sendiri. Di dalam diri sendiri itu berkumpul kemahuan, cita-cita, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Apabila mahu berperang dengan diri sendiri tidak boleh meminta pertolongan kepada diri sendiri. Ilmu tidak berdaya menentang hawa nafsu kerana ilmu adalah alatnya dan alat akan patuh kepada tuannya. 

Perbahasan ilmu yang berlarutan akan menambahkan kekeliruan dan akan meneguhkan nafsu.

Makrifat juga tidak boleh digunakan untuk melawan hawa nafsu kerana jika makrifat digunakan ia akan menarik ke dalam ilmu, maka terjadilah yang serupa. Oleh itu jangan meminta tolong kepada ilmu  dan jangan meminta bantuan makrifat untuk melawan nafsu tetapi larilah kepada Allah s.w.t. Pintalah pertolongan-Nya.

Istiqamah atau tetap di dalam ubudiyah, menunaikan kewajipan sambil terus berserah diri kepada-Nya, itulah kekuatan yang dapat menumpaskan hawa nafsu. 

Tetaplah di dalam ubudiyah, tidak berubah keyakinan terhadap Allah s.w.t, kekuasan-Nya, kebijaksanaan-Nya dan ketuhanan-Nya baik ketika sihat atau sakit, senang atau susah, kaya atau miskin, suka atau duka. 

Apabila wujud sifat redha kepada ketentuan Allah s.w.t, itu tandanya hawa nafsu sudah tunduk kepada kebenaran.
Wallohu A’lamu, semoga bermanfaat

Diterbitkan oleh azzein

الخير خيارةالله، خيارة الله خير من كل خير

Syukron Atas Komentarnya Barokallohu Fiekum..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.